Ngastina jatuh dalam genggaman Pandawa lewat perang Bharatayuda yang mengerikan. Namun, kini Ngamarta berada di depan gerbang resesi. Untuk membangun kembali kehidupan dan kebudayaan. Ngastina berjalan tersendat. Negeri itu bahkan menuju kebangkrutan ekonomi. Sekelompok kecil orang yang menguasai negeri hidup bermewah – mewah dan rakus. Itu membuat harga keputuhan pokok melonjak tak terkendali. Belum lagi sisa – sisa pasukan Ngastina yang lari ke gua – gua terus bergerilya secara sporadis. Mereka melakukan teror – teror yang meresahkan. Bharatayuda memang telah mewariskan persoalan pelik. Salah satunya adalah pasukan liar yang dikomandoi Don Kenyut, cucu Patih Sengkuni.
Pada suatu malam, sosok bayangan hitam pelan mengendap. Sosok itu berkelebat dari pagar istana. Itulah si Mata Kelelawar Don Kenyut yang dilengkapi dengan infra red. Ia perintahkan segenap saraf otak untuk bersiaga. Ia berjingkat dekati sasaran. Tapi, sontak dia kaget tatkala ... mak plenyuk ..., kakinya menginjak sesuatu yang masih basah. Ternyata, sialan , jlantah, alias bekas minyak goreng yang masih panas. Tanpa ayal, Don Kenyut nggrunjal – grunjal karenakakinya seperti mengelupas.
Don Kenyut mulet – mulet tak beraturan. Tubuhnya langsung limbung menabrak tumpukan piring kotor yang belum tercuci.
” Sapa iku ?” teriak Desi Rara Limbuk Sekarwati kaget. Don Kenyut terperanggah sedetik. ” Cit ... cit...” dia menirukan suara tikus. Takut dikonangi, cepat – cepat Don Kenyut ngrapal aji panglimunan. Tangannya bergerak cepat. Mak plotrok, kolor ijo yang dipakainya berpindah menutupi sebagian kepala. So, jadi kasat mata, gitu looch.
Pongah, Denyut melangkah masuk ke istana Ngastina. ” Hiiih,” bisik Desi Rara Limbuk Sekarwati dengan bulu tengkut berdiri karena ditiup oleh Don Kenyut. Tanpa rasa takut Don Kenyut berjalan keliling istana. Ketakutan Limbuk semakin menjadi – jadi tatkala terdengar pintu dapur berdenyit membuka sendiri. Mata Desi Rara Limbuk Sekarwati kian mblalak melihat gelas berbunyi sendiri dan piring – piring menari ke arahnya. Desi Rara Limbuk Sekarwati tak kuat menahan takut hingga lunglai semaput.
Penjaga berhamburan mendekat. Mereka mendengar keras Don Kenyut yang menjauh. Penjagaan diperketat, rekaman kamera keamanan ( CCTV ) kembali diputar ulang tapi hasilnya nihil tak ada gambar. Barang – barang berharga tak ada yang hilang, namun seluruh minyak goreng disikat habis oleh maling.
Bima tak ambil pusing dengan kejadian itu semua. Ia sudah jadi pahlawan perang.
Namun seketika Bima uring – uringan melihat sebuah kotak hitam telah terbuka di brankas terbawah. Isinya minyak jarak untuk menggosok tubuh Bima kalau encok menyerang.
Bima marah besar bukan tanpa sebab. Dengan hilangnya kotak isi minyak jarak, jika dia sakit encok tak ada obatnya. Minyak jarak sulit ditemukan di warung – warung.
Tim khusus KOREM ( Komando Rebut Minyak ) segera dibentuk. Anggotanya, John Trukecuk, anak Petruk dan Al Bagio, anak Bagong.
Al Bagio pun segera melakukan riset njlimet pada minyak jelantah yang tumpah pada malam jahanam tersebut. Satu nama muncul Don Kenyut. Telik sandi pun disebar. Maling itu pun sudah terendus posisinya.
Di sebuah rumah di pinggir sungai ciliwung, daerah Cikini, Don Kenyut ngumpet dan tanpa sadar telah dikepung. ” Don Kenyut, keluar ! Kembalikan minyakku, ” teriak Bima. Don Kenyut loncat dari pintu belakang. Dia dikejar Trukecuk pakai Vespa. Al Bagio tak ketinggalan dengan Honda Pletuk.
Don Kenyut pun terpepet sulit bergerak. Ia ambil serbuk dari kantong yang lalu disebar. Seketika itu, dari tanah muncul bangunan Alfamart dan Indomaret. Dua bangunan intu menjual berbagai kebutuhan. Bima terus berlari tak tertarik. Sebaliknya Trukecuk dan Al Bagio malah sibuk belanja. Memakai Taxsi Garuda, dibawanya ke rumah belanjaan gratis. Sampai di rumah, mereka di maki – maki mbah Semar dan disuruh menyusul bos Bima lagi.
Melihat sulapnya gagal, Don Kenyut berlari semakin cepat. Di sebuah tikungan, tangannya kembali merogoh saku. Dia sebar banyak ribuan rupiah, berharap orang – orang berebut uang. Namun, rakyat sedang antre minyak. Jadi, jalanan sepi. Malah Trukecuk dan Al Bagio nongol lalu berebut uang. Ulah punakawan generasi ketiga menghadang laju pengejaran.
Bima tak sabar lagi. Dia dekati Trukecuk dan Al Bagio. ” Cukup !! Kalian pulang saja, belajar sana sama mbahmu Semar biar tak jadi mental tempe,” hardik Bima.
Kemudian Bima pakai aji Seripi Angin berlari secepat jet mengejar Don Kenyut. Semua aral dapat sukses dilalui Bima. Nyali Dul Kenyut bertambah ciut karena saku kantong telah kosong. Kakinya udah gemeter. Don Kenyut mendekati kerumunan orang dan masuk dalam pasar Manggarai. Sementara , sementara jarak Bima semakin dekat. Tak ada jalan lain, Don Kenyut menyandera simbok – simbok penjual minyak goreng di pasar.
Setelah tertolong, Bima duduk bersandar pada meja. Di depannya, orang pasar dari penjual minyak, penjual bumbu, penjual mi ayam, satpam, semua mengelilingi Bima dengan wajah sedih. Selidik punya selidik, ternyata mereka sudah menganggur dua minggu karena harga – harga melambung tinggi dan sepi pembeli. Bima jadi mbrebes mili. Tak menyangka, dia ternyata egois. Dia kejar minyak jarak untuk penyakit encoknya, padahal naiknya minyak goreng lebih membuat rakyat menderita.
Bima melihat drum tempat dia berkubang. Ternyata, isinya bukan cuma minyak. Isi drum itu adalah MINYAK DAN AIR MATA RAKYAT. ‚ ” Ya, aku hanya pecundang , bukan pahlawan, “ Sesal Bima. ( Cahyo )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar