Kegelisahan menyeruak di kawasan ibu kota Hastinapura. Terdengar langkah cepat berdebam, pintu ditutup kasar, kursi mewah. – Ketabrak patah. Kulit pisang yang dibuang sembarangan membuat Togog jatuh terjerembab. Lecet – lecet dengkul dan sikunya. Cepat bangun, dia berlari lagi seperti dikejar suster ngesot.
Sampai di pusat istana, Togog cepat kumpulkan penjaga, atur ini – itu. ” Lung, cepat tutup pintu gerbang istana. Siapkan pasukan tembak jitu,” seru Togog kepada Mbilung. Komandonya megap – megap, sembari telunjuk menuding, kata – katanya kadang tak terucap. Padahal, seluruh pintu istana Hastina yang menggunakan keamanan komputer high system telah berfungsi. Istana pun layaknya besi baja bundar yang sulit ditembus.
Togog gugup, masih belum tenang. Cepat dia raih teropong. Jauh di belakang, di jalan raya Hastina, mobil dirusak. Bangunan pemerintah habis disambar para punakawan. Bagong, Petruk, Gareng mengamuk di bawah pimpinan Gatutkaca yang sangat marah.
” Duryudana perusak negara !! Hukum yang adil,” seru mereka sembari mencari mantan presiden Duryudana yang dianggap ciptakan sistem koruptor. Korupsi bahkan jadi budaya yang dianggap lumrah.
Tangan Mbilung ndorong tubuh Togog menjauh dari lensa teropong. Cepat, dia rebut teropong. Wajah Mbilung malah jadi tersenyum. ” Tenang. Kang. Walau ngamuk, juragan kita pasti bebas. Lha wong sakit saja. Si bos dicintai orang banyak hehe,” ujarnya.
Togog kembali tak jenak duduk. Dia berjalan hilir mudik, Ya .. orang hargai bos Duryudana karena dia punya uang segudang. Otak Togog bekerja keras coba – coba menghitung kemungkinan. Mbilung lalu mengulurkan segelas Bir Cap Kayu Cendana dingin. Uluran itu ditepis Togog. Mereka lantas terpaku dalam keheningan.
Selama mengabdi kepada Duryudana, Togog belum pernah tahu bahwa Duryudana dan keluarganya koruptor. Mereka baik kok sama wong cilik. ” Lung, aku ingin melacak apa benar kita ikut keluarga koruptor,” suara Togog pasti. “ Wis, koen ora usah reka-reka, Kang,” Mbilung cuek bicaranya.
Togog tetep teguh tekadnya. Dia mengubah diri menjadi Hyang Maya-maya dan mengambil cermin waktu di Kahyangan. Dia ajak Mbilung memasuki masa lalu.
Wess .. Terlihat seorang perempuan yang cantik. Putri Duryudana, Dewi Lesmanawati, tengah shopping di pertokoan mewah di sepanjang Paris, Prancis. Dia belanja pakaian dengan perancang busana yang selangit harganya. Segera Togog minta cermin waktu bercerita tentang Lesmanawati.
Cermin bergerak – gerak, … tek tak tik cek cek ... wess ... terlihat tulisan : Lesmanawati, anak kedua Duryudana, tumbuh menjadi ratu lebah dari bisnis Duryudana. Basis kerajaannya adalah Group Godong Koro Gung. Bisnis besar pertamanya adalah membangun dan mengoperasikan jalan tol. Pembiayaannya berasal dari dua bank pemerintah, sebuah perusahaan milik pemerintah, dan yayasan milik Duryudana.
Jalan tol yang dipunyainya menjelma menjadi bisnis paling menguntungkan di Hastina. Kerajaan bisnis Lesmanawati meliputi juga telekomunikasi, perbankan, perkebunan, penggilingan tepung terigu, konstruksi, kehutanan, serta penyulingan.
“ Edan !! Ini bukan bisnis lagi, tapi angkara murka,” teriak Togog. Secepat kilat, Mbilung menutup mulut Togog dengan tissue. Togog glagepan. ” Huss kok nuduh koen, Kang cermin waktumu udah rusak kali, ” ujar Mbilung.
Setelah bisa bernapas, Togog mendelik ke Mbilung. ” Kami ini, Lung. Cermin ini pelacakan yang sangat canggih. Lihat ini lagi !!”
Dilayar cermin keluar tulisan lagi tentang Don Yuan Lesmana, anak pertama Duryudana, bersama dua teman bekas anggota kelompok band rock-nya. Mereka dibimbing masuk ke bisnis oleh Om Sengkuni. Bisnis di Bulog ( Badan Urusan Logistik ), mengimpor dan mendistribusikan bahan – bahan pokok. Misalnya terigu, gula, kacang, beras, puhung, klepon, bongkrek, tahu petis, dan pete godog.
” Stop !!” Seru Mbilung. ” Tuh kan, Lesmana hanya bisnis kecil, loh,” Mbilung masih berusaha membela.
” Bisnis kecil gundulmu, ” sela Togog.” Wong itu impor beras dan bongkrek saja untungya bisa miliaran. Apalagi, klepon. Duitnya bisa sak langit.”
Mbilung tetap membela. Togog ngotot. Mereka bersegitegang sampai mulut berbusa. Mendadak, terdengar ringkik kuda di layar cermin. Terlihat seperti film. Sengkuni dan Durmagati naik kuda menggiring sapi – sapi gemuk. Mereka menginjak – injak ladang yang sudah hancur. Seluruh petani dan lima desa di Hastina Barat hanya bisa menangis.
Seorang petani yang mencoba melawan langsung dihajar cambuk Durmagati sampai babak belur. ” Hayo, siapa yang berani menentang pembebasan tanah ini. Tanah ini mau dipakai bos Duryudana untuk peternakan sapi, ngerti ?”.
Para petani akhirnya pergi jadi tukang becak di kota – kota Hastina. Remuk hati Togog melihat gambar cermin. Mbilung Cuma diam. Tanpa diminta, mereka berdua tinggalkan istana Duryudana. Lebih baik hidup apa adanya daripada sejahtera tapi koruptor.(Cahyo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar