BURUH DI BAWAH PURNAMA
BULAN nanggal sepisan. Bentuknya nylirit seperti alis gadis yang baru saja meninggalkan masa remajanya. Elok.
Di bawah suasana itu, di Karang Kedempel, tempat kediaman Semar, dilaksanakan rapat formal. Pesertanya adalah Togo, Mbilung, Lembuk dan Cangik. ” Kayaknya konsolidasi sudah komplet – plet untuk aksi besok, ” kata Semar sembari melihat agenda di White bord.
Saat meninggalkan ruang, di benak para punakawan itu masih membayang rasa was – was. Tapi, Bagong enggak.. Dia masih ”cuek bebek ” kagak peduli apa pun. Di halaman depan, dia masih asyik memandangi bayangannya yang kena cahaya bulan. ” Bener kan! Auraku lain, Reng ... Jereng , tuh lihat, woo ... Den Arjuna, ” kata Bagong Bangga. Tanggannya menunjuk bayangannya yang mirip rautan Arjuna. Petruk mecucu sinis. ” Ya nasib. Sekali punakawan ya tetep bae, ” Kata Gareng. Seribu rayuan Gareng dan Petruk untuk mengikuti May Day tak goyahkan Bagong.
Dan akhirnya, sesuai rencana, para buruh di dunia wayang bergerak di empat titik. Tepat siang bolong, sekitar lima ribu buruh yang dikomando Togog dan Mbilung mengepung Dwarawati. Mereka menuntut Kresna menaikkan kesejahteraan buruh.
Tapi aneh, Dwarawati tak berpagar berduri dan pasukan khusus. Karena itu, para buruh pun secara mudah merangsek melewati pagar yang tak terkunci. Wheladalah, pintu istana juga tak terkunci.
Mendahului masuk, baru tiga langkah Togog mak tuing ... sudah dipelataran istana. Lalu giliran Mbilung yang tiba – tiba keblasuk masuk limbah buangan istana. ” Mundul ... lapatkan balisan ... Hap ... Hap, bahaya, ” teriak Mbilung cengap – cengap.
Lima ribu buruh spontan mundur. Dari kejauhan, Presiden Kresna tersenyum simpul. Makan tuh aji Pangendaman gua. Bingung nggak lu, batin Kresna.
Malamnya, di kediaman Semar, mereka konsolidasi lebih rapat. Tetap Bagong di tempat semula di bawah sepertiga cahaya bulan memainkan tangannya yang terbayang bak panah Pasopati. Dia semakin yakin bahwa dia bukan buruh, tetapi kesatria.
Esoknya, Petruk dan Gareng pimpin ribuan buruh mengepung Ngastina. Dia bawah senapan yang siap menyalak, Petruk berorasi, ” Kita memang sandal jepit. Tapi, apa pernah mereka lihat sandal jepit metu wulune ?” Belum sampai selesai bicara, Gareng memotong, ” Model baru pabrikmu, yo truk?” Pletak ... ! hujan jitakan menimpa Gareng.
Sepuluh ribu buruh masih tetap panas. Mereka menyemburkan yel – yel. Saling dorong terjadi. Dalam hitungan detik, pagar Ngastina Jebol. Tapi, tiba – tiba bumi bergetar. Makin lama makin keras horeg-nya. Debu pun beterbangan seiring dengan munculnya rekahan bumi segede istana Ngastina. Pelan tapi pasti, Istana Ngastina terangkat terbang.
Petruk menyumpah – nyumpah atas kejadian yang menurutnya enggak fair itu. Mosok Ngastina menyewa raksasa bayaran bangsa Asyura pimpinan Niwata Kawaca yang punya kesaktian memindah istana ke manapun. Selain itu, Presiden Duryudana juga ngacir. Jam lima sore, mereka kecewa dan membubarkan diri.
Di bawah cahaya bulan yang masih separo, Bagong tambah parah kelakuannya. Dia berimajinasi pada kempol-nya yang padat dan pebuh bekas paku. ” Oh ... Gada Rujak Polo. Ternyata, aku juga Bima, yooooy ... ” katanya berulang – ulang dengan suara yang fals. Gareng dan Petruk yang bercerita serunya demo taka digubris.
Esok harinya, aksi buruh membesar. Semar turun langsung memimpin demo. Ngamarta lumpuh. Dalam rapat mendadak, Bima mengatakan bahwa aksi buruh itu bisa jadi chaos kalau didiamkan. Dia pun manyarankan agar petinggi negara kooperatif.
Karena itu, alun – alun Ngamarta pun diubah. Separo untuk aksi, sisanya disulap penuh tenda, lengkap dengan kasur dan full AC. Dapur umum pun tak ketinggalan. Menu istimewa disediakan gratis. Buruh bisa makan sak mbedose. Virus dan penyakit lamapun menyebar, Bar mangan wareg mata ngantuk dan bablas angler tidur. Kor suara ngorok malam itu menghiasi Ngamarta. Para buruh lupa maksud aksi mereka.
Di kediaman Semar, para Korlap saling koreksi usai dijebak Presiden Ngamarta. Tarik ulur terjadi diantara Togog dan Semar. Akhirnya disepakati, pada momen yang tepat, mereka harus membuat aksi lebih besar lagi.
Merekapun memutuskan membuka sayap lebih besar dan leba. Tapi kemana? Akhirnya, Gareng dan Petruk diutus turun kedua manusia menjadi duta. Keduanya turun di kota metro Jakarta.
Berjalan ke arah yang digambarkan Semar, Gareng dan Petruk berjalan melawan arus dua puluh lima ribuan buruh. ” Ade ape nich ... belum sore koq udeh balik, ” tanya Petruk ke salah satu orang. Tapi, jawabannya hanya tepisan wajah yang kecewa. ” Lah mau sowan pak Presiden malah ditinggal istirahat, ” jawab orang itu.
Gareng dan Petruk lantas kembali ke habitatnya, tepat pada bulan purnama. Kedatangan mereka berdua disambut Bagong yang berteriak histeris. Ternyata setelah purnama, bayangan Bagong tambah jelas. Bulat lat ! Tampaklah bahwa Bagong bukan Arjuna. Dia pun sadar bahwa dia adalah buruh punakawan, bukan kesatria atau petinggi negara.
Penuh semangat, Bagong mengajak dua saudaranya beraksi turun ke jalan. Namun, Bagong hanya mendapat jawaban murung. Sebab, setiap presiden pasti ngacir saat buruh ingin mengadukan nasib. ( Cahyo )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar